JAKARTA (Keadilan.net) – Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak permohonan uji materi yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terkait masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, menjelaskan bahwa hasil keputusan menyatakan bahwa permohonan dari para pemohon tidak dapat diterima.
Majelis hakim konstitusi menyimpulkan bahwa inti dari permohonan yang diajukan oleh para pemohon dalam kasus nomor 68/PUU-XXI/2023 tersebut kurang jelas. Selain itu, apabila dilihat dari sudut pandang hukum, permohonan para pemohon tidak memiliki dasar yang kuat.
Hakim Agung Terdakwa Kasus Suap Divonis Bebas, KY: Belum Berkekuatan Hukum Tetap
Perihal permohonan dari MAKI, yang diuraikan dalam petitumnya, adalah untuk mendapatkan deklarasi dari mahkamah agar masa jabatan para pimpinan KPK yang telah diubah menjadi lima tahun mulai berlaku pada masa kepemimpinan selanjutnya.
Hakim Konstitusi, Manahan MP Sitompul, menjelaskan bahwa isi petitum dari pemohon ini terlihat ambigu dan tidak memadai untuk dilaksanakan, karena tidak ada kejelasan mengenai periode berikutnya yang dimaksudkan.
“Saat menguraikan petitum ‘periode berikutnya’, waktu yang dimaksudkan tidak jelas dan dapat diartikan kapan saja. Di sisi lain, dalam posita (alasan) permohonan, disebutkan periode 2023-2028, sehingga terdapat ketidakselarasan antara posita dan petitum permohonan,” ujar Sitompul dikutip [email protected], Rabu (15/8/2023).
Pengusutan Kasus IMEI Ponsel Ilegal, Polri Dapat Dukungan Pakar Hukum
Selain itu, majelis hakim juga mempertimbangkan dalil yang diajukan oleh pemohon bahwa para pimpinan KPK saat ini tidak memiliki kinerja yang baik, melanggar kode etik, dan terpengaruh oleh politik, namun hal ini bukan termasuk dalam ranah inkonstitusionalitas norma. Oleh karena itu, Sitompul menyatakan bahwa ini bukanlah yurisdiksi mahkamah untuk menilai hal tersebut.
Dalam penjelasannya, Sitompul juga mengacu pada putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 yang mengubah masa jabatan para pimpinan KPK menjadi lima tahun. Putusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa rekrutmen para pimpinan KPK tidak boleh dilakukan dua kali oleh presiden atau dewan perwakilan rakyat (DPR) dalam satu periode masa jabatan yang sama.
“Dalam konteks ini, selain mengakibatkan perlakuan yang tidak konsisten dengan lembaga negara lainnya, juga berpotensi merusak independensi para pimpinan KPK serta memberikan beban psikologis dan konflik kepentingan bagi mereka yang ingin mendaftar kembali dalam seleksi calon pimpinan KPK berikutnya,” tambahnya.
Panji Gumilang Diproses Hukum, Polri Minta Masyarakat Sabar Menunggu Hasilnya