JAKARTA (Keadilan.net) – Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) telah menolak permohonan banding Ferdy Sambo terkait putusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) sebagai anggota polisi pada Senin 19 September 2022 kemarin.
Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu membuat Ferdy Sambo resmi dipecat dari Polri. Ferdy pun tidak bisa lagi melakukan upaya hukum lain di kepolisian karena keputusan itu sudah final dan mengikat.
Dilansir dari TB News, Jum’at (23/9/2022), keputusan ini mendapat apresiasi dari Pengamat Kepolisian, Alfons Loemau. Lebih jauh, ia meminta Polri segera mempercepat kasus pidana Ferdy.
Kasus Ferdy Sambo, Kejagung Terima Berkas 7 Tersangka dari Penyidik Polri
Menurut Alfons, Polri tidak cukup membawa kasus ini pada sidang etik saja. Sebab, tindakan yang dilakukan Ferdy Sambo bukan lagi pelanggaran tetapi sudah masuk kategori kejahatan.
“Ini sudah masuk kejahatan, bukan lagi pelanggaran. Kalau etik itu, misalnya ada pelanggaran ringan dan berat. Nah, orang bolos 30 hari berturut-turut itu masuk pelanggaran berat, dia dipecat. Bolos itu bukan tindak pidana,” kata mantan penyidik Bareskrim Polri ini, pada Kamis 22 September 2022.
“Kalau kasus sekarang kan sudah menghilangkan barang bukti, mempersulit jalannya penyelidikan, itu pidana, jadi seharusnya tak perlu bertele-tele,” lanjutnya.
Isu Temuan Bunker Uang Rp900 Miliar di Rumah Ferdy Sambo, Polri Tegaskan Tidak Benar
Alfons menjelaskan, putusan sidang etik hanya mengikat suatu organisasi, berbeda dengan putusan hukum dari Pengadilan yang merupakan produk hukum yang lebih tinggi dan mengikat kepada semua pihak.
Selain itu, lanjutnya, tindakan Polri melakukan sidang etik terhadap Ferdy Sambo seharusnya lebih simpel dalam kasus kejahatan, langsung pecat saja.
Menurutnya, Inspektorat Khusus (Itsus) Polri seharusnya langsung membawa kasus ini ke tahap pidana begitu vonis hukum langsung pecat.
Warga Sukoharjo Nekat Bangun Jembatan Sasak Diatas Sungai Bengawan Solo, Ini Alasannya
“Itu yang perlu dilakukan supaya masyarakat tidak melihat seperti diayun-ayun begitu. Itu juga jadinya kan seperti tegas. Tidak terkesan bertele-tele. Pecat-pecat saja. Tak usah tunggu etik,” tegas Alfons.
Jadi, kata Alfons, dalam hal anggota Polri melakukan kejahatan pidana, tak perlu lagi sidang etik yang hanya menyangkut pelanggaran. Tunggu vonis pengadilan pecat, beda dengan pelanggaran. Pelanggaran bisa disidang kode etik.
“Ini bisa menjadi koreksi bagi pimpinan Polri dikemudikan hari, pemecatan yang cepat sudah bagus. Tetapi, dalam tindak kejahatan, percepat proses pidananya lebih utama,” pungkasnya.***